Sebuah Catatan pada tanggal 4 Maret 2010
Mbah Parno, seperti itulah kebanyakan orang memanggilnya, seorang wanita yang kini telah memasuki usia senjanya. Wanita yang menginspirasi saya untuk menulis tulisan ini. Walau kini usianya sudah tak muda lagi, namun semangat beliau boleh jadi mengalahkan semangat kita sebagai kaum muda. Setiap pagi beliau melewati puluhan kilometer, berangkat dari gemolong menuju kota yang bernama Solo, tempat beliau mengejar rizkinya dari Allah SWT. Keranjang atau orang jawa menyebutnya sebagai senik/tenggok, selalu setia menemani beliau kemanapun beliau pergi. Layaknya seorang anak, kemanapun mbah.parno melangkahkan kaki, keranjang yang berisi barang dagangan senantiasa melekat di punggung beliau, memang terlihat keranjang tersebut bagai sebuah beban berat yang seolah tak mau dilepaskan, sebab tanpa keranjang yang berat itu mbah parno mungkin sulit untuk bisa memenuhi jatah hidupnya hari ini, sehingga keranjang itu sangat berharga baginya.
Melihat beliau mengangkat beban yang berat dan melihat fisik beliau, kedua hal ini sangat kontras. Fisik yang sudah mulai rapuh dimakan usia menggendong beban berat hanya demi mencari sesuap nasi untuk hari ini. Setiap pagi beliau memulai rutinitas dengan menawarkan barang dagangannya. Beraneka ragam, mulai dari kacang rebus, rambutan, tape, pisang dan bahkan tidak jarang beliau mengisi keranjang dengan bongkahan besar buah nangka. Ekspedisi beliau dimulai dengan berjalan kaki menyusuri kerumunan mahasiswa di sebuah kampus di daerah Joglo, Surakarta, tak jarang banyak orang yang menolak beliau. Namun demikian, semangat pantang menyerah selalu beliau tunjukkan, hingga pada akhirnya ada pembeli baik hati yang mau membeli barang dagangannya.
Entah, dengan perasaan yang tulus dan niat yang benar-benar ingin membeli dagangan yang beliau tawarkan, atau mungkin orang membeli karena iba, tidak tega melihat orang setua Mbah.Parno berjalan terseok-seok untuk berjualan. Namun, apapun alasan orang membeli dagangan beliau, seorang Mbah.Parno tetap mbah.Parno, wanita yang pantang menyerah menyusuri ramainya dunia untuk menawarkan barang dagangannya dengan suara khas beliau “Niki, Nak…mbahe ditumbasi nggih, Nak!! Kacange nopo ACEne ??”(Ini, Nak.. dagangan nenek dibeli ya nak!! pilih kacang atau rambutan??). Pernah suatu ketika saya melihat mbah.Parno berjalan di bawah teriknya sinar matahari yang menyengat kota Solo menyusuri jalan sekitar daerah Nusukan, Surakarta sampai dengan daerah di sekitar Terminal Bus Tirtonadi yang jaraknya sekitar 1, 5 km.
Tak henti-hentinya beliau mendatangi kerumunan orang untuk mencoba peruntungan nasibnya, siapa tahu Allah menambahkan rizki beliau dengan ada orang yang baik hati yang mau membeli dagangan beliau, sekaligus meringankan beban yang melilit pundak dan punggung beliau. Mbah.Parno, ketika ada orang baik yang mau membeli dagangannya, lantunan doa dan harapan tak hentinya beliau sampaikan kepada sang pembeli. Kadang, saya pun tersenyum dan mengamini doa beliau dalam hati. Senang rasanya, seorang tua seperti beliau masih sempat mendoakan saya yang notabene seumuran dengan cucu, bahkan mungkin cicit beliau.
Melihat perjuangan seorang yang setua Mbah.Parno, kadang – kadang saya membandingkan dengan diri saya sendiri. Ya…seorang Willy Juanggo, pemuda yang masih berumur 20 tahun, kadang-kadang melalui hari-harinya dengan sesuatu yang mungkin masih jauh dari perjuangan berat yang ditunjukan oleh seorang Mbah Parno. Semangat juang yang tak pernah padam dan rasa pantang menyerah yang dimiliki oleh mbah.Parno kadang-kadang menjadikan diri saya malu, malu….malu sekali. Mengapa saya dengan fisik yang masih muda, masih kuat tidak bisa menunjukkan semangat juang segigih Mbah.Parno?? Sikap lembek yang ada dalam diri ini sulit untuk dilepaskan, dikalahkan oleh gengsi yang menutupi hati. Kadang kala saya lebih memilih untuk melarikan diri masalah ketimbang harus menghadapinya. Bebeda dengan Mbah.Parno, dalam kerapuhan fisiknya, beliau masih semangat dan pantang menyerah dalam menjalani kehidupannya. Semoga sikap positif yang dicontohkan oleh mbah.Parno ini bisa kita jadikan bahan renungan. Seberapa jauh kita mensyukuri nikmat jasmani yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Dan seberapa jauh kita telah mendayagunakan segala potensi dalam diri kita ini guna menjadi insan yang lebih baik?? Yaa Robb, semoga Engkau mengampuni segala kekhilafan hambaMu ini...!!!
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Belajar dari Mbah Parno"
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya!!!