Dua bulan sudah saya hidup di Kalimantan. Selama itu kebanyakan waktu saya gunakan untuk mengajar dan menghabiskan hari di asrama. Bisa dihitung dengan jari berapa kali saya keluar meninggalkan asrama untuk sekedar jalan-jalan. Paling jika pulsa modem habis, saya baru pergi meninggalkan sarang sebab segala kebutuhan pokok saya selama hidup di Kalimantan sudah tercukupi, seperti makan dan laundry pakaian.
Oh ya, kenapa saya bisa terdampar sampai sejauh ini? Mungkin alasannya bisa teman-teman baca di postingan saya sebelumnya (Saya Terdampar di Kalimantan). Saya tinggal di asrama putra SMA Banua Kalsel bersama sekitar 34 siswa dan 2 orang guru serta 3 pengasuh asrama. Kebetulan sekolah tempat saya mengajar ini cukup luas, lebih luas dari rata-rata luas sekolah setingkat SMA di Jawa. Jadi kalau kita ingin keluar dari ruang kelas menuju pintu gerbang utama jaraknya sekitar 500-600 meter. Lumayan jauh, apalagi kalau siang hari saat matahari sedang teriknya bersinar. Kalau di Solo mending, saya kemana-mana biasa pakai sepeda motor. Lha di sini, saya kembali menjadi pedestrian. But, No problem itung-itung olah raga biar badan sehat, hehe.
Nah, ini cerita beberapa hari yang lalu saat saya hendak membeli handuk dan pulsa. Waktu itu saya pergi bersama Mas Ajick, teman guru yang berasal dari Jawa juga, tepatnya Boyolali. Seperti biasanya, setelah sekolah bubar sekitar pukul 15.30 WITA kami ganti pakaian dan meletakkan buku-buku pelajaran di kamar. Kebetulan saya dan mas Ajick tidur di kamar yang sama. Setelah itu kami berjalan kaki menuju pintu gerbang untuk mencari “Taksi”. But wait, tunggu dulu, “Taksi” yang saya maksud bukan taksi sebagaimana yang sering teman-teman lihat di Jawa, nyaman dan ber-AC serta bertarif mahal. Melainkan, taksi dengan armada Suzuki Carry tahun 90an bercat hijau dengan pintu selalu terbuka. Kalau di Solo biasanya disebut angkot, hehe. Awalnya saya sempat ngakak tahu orang-orang di Banjar menyebut si “Fake Taxi/Angkot” ini dengan sebutan taksi, kesan pertama saya membayangkan tunggangan yang nyaman dan mahal, tapi ternyata saya kecelik. Kalau suatu saat nanti teman-teman pergi ke Banjar dan hendak menumpang Taksi sungguhan, di sini namanya “Argo” atau lengkapnya “Taksi Argo”, tarifnya hampir sama dengan yang di Jawa.
Sampai di gerbang sekolah kami menunggu si “Taksi” di pinggir jalan besar yang menghubungkan Kalimantan Selatan dan Kalimatan timur. Saat itu lalu lintas cukup padat hingga membuat kami kesulitan untuk menyeberang. Akhirnya si “Taksi” jurusan Landasan Ulin-Pal.6 pun tiba dari arah tenggara dan mengantarkan kami ke pasar Gambut, sekitar 4 kilometer dari asrama sekolah. Tarif yang dikenakan cukup terjangkau, cukup 3000 rupiah saja.
Kami pun turun dan masuk pasar untuk membeli apa yang kami butuhkan. Kalau teman-teman terbiasa berbelanja ke pasar tradisional di kota Solo, may be kalian semua akan kaget, saya pun demikian. Betapa tidak, pasar Gambutnya kotor sekali, aroma tidak sedap menghiasi seantero sisi pasar yang berukuran lumayan besar. Dan parahnya, selokan yang full air kotor dan sampah mampet, persis seperti comberan. Saya sangat menyayangkan kenapa asset potensal milik masyarakat dan pemerintah ini tidak dijaga dan dirawat dengan baik. Seandainya saja dibuat lebih nyaman kan pengunjung jadi betah berlama-lama di dalam. Mungkin upaya pemerintah Solo untuk menata pasar tradisional perlu ditiru oleh pemerintah Kalimantan Selatan, khususnya Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar. Sehingga semua pihak akan merasa diutungkan, termasuk penjual dan pembeli.
Oke, lanjut ceritanya. Akhirnya saya pun menemukan handuk yang saya cari. Saya sempat singgah di dua kios yang berbeda sebelum akhirnya jadi membeli. Pertama, saya singgah di kios di sebelah timur pasar. Ketika itu saya bertanya kepada penjual menggunakan bahasa Indonesia logat Jawa. Saya tidak tahu kenapa harga handuk di sini mahal sekali, saya sempat menawar tapi tidak bisa. Akhirnya kios itu saya tinggalkan menuju kios yang ke dua. Di kios kedua, saya mencoba mempraktekkan bahasa Banjar yang saya pelajari. Saya bertanya kepada penjual dengan menggunakan logat Banjar, dan beberapa bahasa Banjar sederhana seperti,”piyan, ulun, kadakah, kadada”. Dan apa yang terjadi saudara, awalnya saya sempat bingung tapi ini benar-benar terjadi, harga handuk di kios ini tenyata lebih murah dibandingkan kios sebelumnya. Saya tidak tahu apa sebabnya, mungkin harganya memang segitu. Tapi kalau melihat kualitas si handuk, memang lebih baik dan lebih murah dibandingkan tempat sebelumnya. Transaksipun berhasil, saya menukarkan uang 25.000 rupiah dengan sebuah handuk tebal berwarna biru. Selanjutnya saya pun pergi mencari pulsa.
Singkat cerita, kami pun sudah mendapatkan apa yang kami butuhkan. HP sudah terisi pulsa dan di tas saya sudah ada handuk serta pasta gigi. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 17.00 WITA sore itu dan kami pun berniat untuk kembali ke sekolah. Namun, berkeliling pasar membuat kami merasa lapar. Kami pun memutuskan untuk berjalan ke arah timur mencari tempat makan yang pas, pas di lidah dan di kantong tentunya, hehe. Setelah berjalan sekian lama akhirnya, kami menemukan sebuah warung Mie Ayam-Bakso kecil di sebelah kiri Jalan. Dan yang membuat saya senang dan bangga di warung itu tertulis “Mie Ayam Wonogiri-Tunggal Rasa”. Saya senang karena bisa bertemu dengan saudara sekampung halaman, dan saya merasa bangga sebab ternyata orang Wonogiri bisa mengibarkan sayap usaha sampai sejauh ini. Seperti penjajah saja, tidak di Jawa, Jakarta, Sumatra dan Madura, kita bisa menemui orang-orang Wonogiri yang berjualan Bakso dan Mie Ayam. That’s Why, I’m proud to be “Wong Wonogiri”.
Mayoritas Orang Wonogiri adalah perantau, termasuk Ayah dan Alm Ibu saya. Di perantauan mereka biasanya bekerja atau berdagang/usaha, salah satu usaha yang populer adalah berjualan mie ayam atau bakso bagi kaum pria dan berdagang jamu gendong atau sayur bagi kaum wanita. Begitu pula kedua orang tua saya, saya besar dalam keluarga perantau. Ayah dan Ibu saya merantau ke daerah Cisayong, Tasikmalaya. Sudah lebih dari 30 tahun ayah berdagang bakso keliling menyusuri daerah sekitar Cisayong, Raja Polah dan Cigrowong. Bahkan beliau menjadi salah satu saksi saat gunung Galunggung meletus pada sekitar tahun 80an. Kalau pas sedang di rumah, ayah biasa menghabiskan waktu menjadi petani. Yah, petani seadanya, kadang bertanam padi, kadang jagung dan kacang. Sedangkan Almarhum ibu yang meninggal setahun silam, selama hidupnya beliau adalah penjual jamu gendong. Bahkan beliau wafat di perantauan, ketika beliau sedang melayani pembeli. Saat itu tiba-tiba beliau pingsan, meski sempat dibawa ke UGD tapi Allah berkehendak lain. Ibu meninggal tanggal 16 November 2011. Kata dokter beliau terkena serangan stroke dan pembuluh darah beliau pecah sehingga terjadi pendarahan ke otak. Namun demikian saya sangat bersyukur, meski ayah dan ibu hanya pedagang kecil yang mengadu nasib sampai harus meninggalkan kampung halaman tapi beliau mampu mencukupi kebutuhan keluarga, kebutuhan saya, kakak dan adik-adik angkat sampai bisa menyekolahkan saya hingga lulus sarjana.
Oh, sampai di mana tadi? Oya, saya dan mas Ajik akhirnya memutuskan untuk makan Mie Ayam. Kami pun masuk ke warung Bakso tadi dan memesan 2 mangkok Mie Ayan serta dua gelas teh. Saya sempat berbincang-bincang dengan sang pemilik tempat makan. Ternyata warung Bakso tadi milik sepasang suami istri, saya lupa namanya. Sang istri berasal dari Wonogiri, satu kecamatan dengan saya yakni Girimarto. Saya pun tertarik untuk mendengarkan cerita lebih lanjut, beliau memulai usaha di Kalimantan sejak 4 tahun yang lalu. Sedangkan sang suami aslinya adalah orang Sukoharjo, tepatnya dari desa Majasto, Kecamatan Tawangsari.
Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat mie ayam yang kami pesan pun siap. Jujur, sebelum saya kembali ke Kalimantan pasca libur lebaran lalu, saya sempat ngidam makan mie ayam tapi sayang waktu itu karena terburu-buru akhirnya tidak sempat. Meski rasanya lumayan berbeda dengan rasa Mie ayam di Wonogiri, tapi cukup mengobati kerinduan saya akan kampung halaman. Penyajiannya juga sedikit berbeda, kalau di Wonogiri biasanya ada pangsitnya, di sini diberi tambahan “penthol”, ya semacam bakso tapi ukurannya lebih kecil. Tanpa menunggu lama, saya menambahkan sedikit saus dan kecap lalu perlahan menyantapnya. Sedikit demi sedikit, mie dalam mangkok saya berkurang. Sesekali saya menyruput kuahnya yang lumayan kental bercampur dengan kecap dan saus, benar-benar nikmat. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau saya bisa menemukan orang Wonogiri di tempat baru ini. Akhirnya, setelah sekitar 10 menit bergelut dengan mangkok, garpu dan sendok perang melawan lapar pun saya akhiri dengan menyruput teh manis. Luaarrr Biasa, lapar pun hilang.
Pernah seorang teman mengatakan kalau biaya hidup terutama makan di Kalimantan relative mahal. Saya pun mengira kalau harga yang dibandrol untuk semangkok mie dan segelas es teh ini juga demikian. Sebab saya punya pengalaman yang kurang mengenakkan sewaktu di Jakarta. Saya harus membayar 20ribu untuk semangkok soto dan es teh. Kalau kelasnya restoran sih wajar, tapi saat itu sekelas warung tempel di pinggir jalan. Langit sudah mulai gelap, kami pun bergegas untuk kembali, akhirnya kami pun bertanya berapa uang yang harus kami keluarkan untuk membayar kekacauan yang kami perbuat dengan sendok dan mangkok. Semangkok Mie dan segelas es teh, 10ribu mawon, yah terjangkaulah. Kalau di Jawa juga rata-rata segitu harganya. Urusan sudah selesai, kami pun mohon diri dan mengakhiri cerita sore itu dengan kembali naik “Taksi” Jurusan Landasan Ulin.
Luar biasa ^_^ bangga dengan WONOGIRI. Tapi, kadang masih ada orang Wonogiri jika ditanya asalnya selalu jawab SOLO. Padahal Solo - Wonogiri itu beda. BTW, tetangga saya banyak yang ke Kalimantan lho Pak. Jangan-jangan
BalasHapusEh, mungkin bisa jadi tetanggane Jenengan Pak :)
BalasHapusIya..kita harus Bangga dengan WONOGIRI :D
SALAM SUKSES....
Sukses di. Tempat. Yang baru. Ya om. Wili
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusOh ternyata Kalimantan sudah buuuuanyak orang dari Wonogiri yaaaaaaaaaaaaaa Om?? Wonogiri'a mana kata'a Om?? :D
BalasHapusDon't forget Wonogiri... Wonogiri ya Wonogiri... Beda dengan Solo... Kita punya ciri khas dan karakter tersendiri yang membedakan dengan daerah lain... Hidup Wonogiri... Salam satu jiwa dan satu rasa bagi Wong Wonogiri dimanapun berada... Matur Nuwun...
BalasHapusDon't forget Wonogiri... Wonogiri ya Wonogiri... Beda dengan Solo... Kita punya ciri khas dan karakter tersendiri yang membedakan dengan daerah lain... Hidup Wonogiri... Salam satu jiwa dan satu rasa bagi Wong Wonogiri dimanapun berada... Matur Nuwun...
BalasHapuspengalaman dan cerita yg menarik pak. sampai akirnya sampai jg ke Turki.xselamat ya....!!!!?? (^_^)
BalasHapusasslam
BalasHapusmaaf sebelumnya, kami dari cv. surya utama logam spesialis membuat mesin gilingan bakso, mempromosikan kepada bpk/ibu tentang mesin gilingan bakso dan melayani pemesanan mesin gilingan bakso, info bisa hubungi no 0272 551590/ 081 226 396 356
terimakasih
mansur
wonogiri is the best
BalasHapus